Saat IPK-mu Tak Sesuai Ekspektasi, Sebenarnya Tak Ada yang Perlu Kamu Tangisi
IPK
atau Indeks Prestasi Kumulatif kerap dianggap sebagai separuh nyawa
mahasiswa (separuhnya lagi mungkin uang bulanan dari orangtua). Selain
jadi bukti pada orangtua kalau kamu niat kuliah, IPK juga adalah
standar persaingan prestasi antar mahasiswa dan syarat pertama yang biasa
dipatok perusahaan dalam mencari karyawan. Wajar jika kamu berusaha
mati-matian untuk mendapatkan IPK yang cemerlang.
Namun
apa daya, setelah berusaha keras, kamu harus menghadapi kenyataan bahwa
IPK-mu tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Tak jarang, ini membuatmu
putus asa.
Tapi
sebenarnya kamu tidak perlu merasa sial. Justru jika kamu bisa mengakali
keadaan tak ideal ini, kamu bisa tumbuh menjadi mahasiswa “paket istimewa”.
Mahasiswa
paket istimewa? Yup. Daripada menangisi angka IPK, lebih baik kamu memikirkan
hal-hal di bawah ini saja!
1. Anggaplah kuliah itu seperti menu makan: IPK adalah
nasinya, pengembangan skill dan pola pikir lauk-pauknya. Mendewakan
IPK sama halnya dengan hanya memakan nasi — kamu akan kurang gizi.
Bicara
tentang IPK memang selalu memberikan sensasi tersendiri bagi mahasiswa.
Saat IPK naik, kamu akan girang bukan main. Saat IPK terjun bebas, kamu akan
merasa kiamat sudah dekat.
Bukannya
IPK itu tidak penting sama sekali, tapi tujuan kuliah bukan
hanya mendapatkan IPK “dewa”. Tak kalah pentingnya dari IPK adalah soft
skill serta pola pikir yang kamu dapatkan selama proses perkuliahan.
Jika
kamu tak puas dengan IPK-mu yang sekarang, bisa jadi sebenarnya dalam
hati kamu adalah orang yang punya ambisi. Mungkin kamu gagal mendapatkan
prestasi akademik secemerlang harapan karena kamu begitu sibuk menyalurkan
ambisimu di tempat-tempat lain, misalnya organisasi kampus atau komunitas hobi
di kotamu. Menangisi IPK hanya akan membuatmu lupa bahwa kamu punya
potensi-potensi yang tak bisa diterjemahkan ke dalam angka-angka. Cobalah tilik
lebih dalam ke dirimu sendiri: bukankah dari kegiatan berorganisasimu
selama ini, kamu telah menempa pola pikir dan soft skill yang
dibutuhkan sebagai seorang profesional?
Dengan
mengembangkan soft skill dan pengalaman, jangan heran
JIKA KAMU bisa menjadi kandidat yang dicari banyak perusahaan. Di lain sisi,
dengan pola pikir yang maju kamu pun bisa membuat masa depan yang cerah
tanpa harus mengandalkan apa yang tertera dalam ijazah. Setiap orang pasti
punya keunggulannya masing-masing. Haram hukumnya untuk cepat menyerah hanya
karena IPK yang tidak summa cum laude.
2. IPK tak akan sepenuhnya menentukan masa depan. Justru,
yang lebih berpengaruh adalah karakter kepemimpinan seseorang.
IPK
gak sepenuhnya jadi penentu masa depanmu
IPK
rendah bisa terasa seperti mimpi buruk yang bikin tidur jadi
tak nyaman. Bahkan mungkin kamu merasa putus asa saat IPK-mu terancam
terjun bebas. Sayang, alih-alih memperbaiki sistem belajar, kamu malah tidak
melakukan apa-apa karena terlalu khawatir akan IPK yang pas-pasan.
Bagaimana
nasib masa depanku nanti ya? Masa aku jadi pengganguran?
Hey,
tenanglah. Kamu gak perlu lagi menghabiskan waktumu untuk mengkhawatirkan masa
depan. Justru sekarang saatnya kamu memanfaatkan momen untuk memperbaiki
sistem belajar atau mengasah kemampuan yang bisa mengantarkanmu pada kesuksesan
di masa depan. Salah satunya adalah karakter kepemimpinan.
Mungkin
kamu sudah mencoba belajar maksimal, namun IPK masih juga jauh dari target yang
kamu inginkan. Maka gak ada salahnya kamu mulai memperhatikan potensimu yang
lain, misalnya memupuk jiwa kepemimpinan yang kamu punya untuk bisa menjadi
orang besar. Karena gak sedikit kok orang-orang besar justru datang dari IPK
rendah yang punya jiwa kepemimpinan tinggi. Jika kamu tak mudah putus asa hanya
karena IPK, siapa tahu kamu jutru bisa menjadi seperti mereka.
3. Mendapatkan IPK tak sesuai harapan akan
membuatmu sadar bahwa hasil usaha tak melulu berbentuk angka. Ilmu
yang bermanfaat adalah hal utama, dan toh kamu sudah mendapatkannya.
Hasil
ilmu gak hanya sekedar IPK
Hidup
memang kadang menyajikan berbagai kejutan yang tidak terduga, gak terkecuali
tentang perkuliahan. Saat 4 tahun kamu sudah berusaha mati-matian untuk
mendapatkan predikat cum laude, eh ternyata kenyataan
menawarkan cerita yang lain. Nilai IPK yang tercantum di ijazah
berbeda dari ekspektasimu sebelumnya. Gak jarang hal ini membuatmu merasa
kecil hati untuk bermimpi tinggi.
Tanpa
harus mengutuki diri sendiri, gak ada salahnya kamu mulai memandang IPK minim
dari perspektif yang lain. Hasil dari proses belajar tak harus selalu
diwujudkan dalam bentuk angka. Yang lebih penting adalah seberapa luas
gudang ilmu yang kamu punya, dan seberapa mampu kamu memanfaatkannya untuk
kepentingan masyarakat. Misalnya, mungkin kamu gagal mendapatkan
nilai A dalam ujian kimia lanjut, tapi mungkin saja kamu justru
berhasil mengaplikasikan reaksi kimia sederhana untuk menciptakan suatu barang
yang punya nilai jual. Kalau sudah begini, apa IPK masih mau kamu tangisi?
4. Tidak dapat dipungkiri, orangtuamu akan bangga jika kamu
punya IPK tinggi. Namun menganggap bahwa hanya itu saja yang bisa membanggakan
mereka pun sempit sekali.
IPK
tinggi jangan cuma bawa nilai aja ya
Selain
menjadi penentu eksistensimu sebagai mahasiswa, IPK juga gak jarang bisa
menjadi penentu kebahagian orangtua. Sampai-sampai kamu harus membiasakan diri
dengan pertanyaan “IPK-mu sekarang berapa?”. Karena harapan
mereka hanyalah kamu bisa membawa pulang angka IPK yang tinggi sebagai bukti
anaknya benar-benar kuliah dengan baik. Jadi kamu pasti akan merasa
tak enak hati saat harus memberi hadiah orangtuamu dengan IPK yang
pas-pasan.
Tenanglah.
Mungkin orangtuamu belum bisa merasa bangga dengan IPK-mu yang sekarang. Tap
pastikan kamu punya bekal lain yang bisa diandalkan, yaitu pengalaman. Mungkin
kamu gak bisa membawa sederetan nilai A di transkrip, tapi kamu punya seabrek
pengalaman luar biasa yang gak banyak mahasiswa lain dapatkan. Bisa saja
bukan, kamu seorang aktivis organisasi atau sudah sering ikut diskusi
politik ke luar negeri? Intinya, kamu masih bisa mengandalkan banyak hal
untuk membuat orangtuamu bangga nantinya.
5. Naif jika bilang IPK tidak penting sama sekali.
Tapi, naif juga menggantungkan masa depanmu pada angka-angka mati.
Rasanya
naif sekali jika aku bilang IPK tidak penting. Tak dapat dipungkiri, IPK
tinggi bisa melancarkan seleksi berkasmu saat melamar pekerjaan.
Nilai IPK yang cemerlang juga bisa sangat membantumu saat seleksi berkas
beasiswa. Tapi, naif juga jika kamu bilang bahwa IPK adalah segalanya.
Setelah
seleksi berkas tahap pertama, perusahaan akan berusaha menggali dari dirimu
kualitas yang lebih dari angka-angka yang tertera di ijazah dan
transkripmu. Itulah mengapa saat wawancara kerja kamu akan ditanyakan seberapa
mudah kamu bekerjasama, apakah kamu mampu bertanggung jawab dan amanah, serta
seberapa cepat kamu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Kualitas-kualitas ini akan dibuktikan sekali lagi dalam focus
group discussion. Jadi, jangan berkecil hati ketika IPK-mu tidak
sempurna. Tak jarang, sebuah perusahaan akan berani memberikanmu masa uji coba
jika kamu bisa membuktikan pada mereka bahwa kamu punya kualitas-kualitas yang
mereka butuhkan.
6. Tak perlu mengutuki diri sendiri. Jika kamu memang masih
punya waktu dan peluang, inilah saatnya mengkoreksi cara belajarmu selama ini.
Begadang
sepanjang malam sudah bukan pilihan.
Nilai
IPK yang rendah bukan kiamat, karena ini bukan akhir dunia yang akan
mengantarmu ke akhirat. Tanpa perlu mengutuki diri sendiri, alangkah baiknya
kamu coba meluangkan waktu sendiri. Apakah ada yang salah dengan sistem
belajarmu selama ini? Apakah mungkin secara gak sadar kamu menganggap enteng
kuliah? atau mungkin kamu selama ini malas mengerjakan tugas? atau bahkan ini
semua sudah maksimal?
Tanpa perlu merasa tak berguna, gak ada salahnya
coba kamu tanyakan lagi pada diri sendiri tentang apa yang selama ini kamu
cari? Nilai A? Predikat Cum Laude? Ilmu yang
bermanfaat? Membangun pola pikir maju? Hanya kamu yang tahu
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini.
Punya IPK tinggi gak perlu bikin jumawa,
dan punya IPK lebih rendah bukan berarti kamu celaka. Jika kamu masih
bisa memperbaikinya, cobalah sekuat tenaga untuk mengubah ya. Jika tidak
bisa, menyesal juga untuk apa? Pastikan saja kamu memaksimalkan bakat-bakat di
kegiatan non-akademik yang kamu suka. Karena masa depan bukan hanya dibangun
oleh angka –karakter kepemimpinan, pengalaman, dan pola pikir juga sama
pentingnya.